Wisata Edukatif Seru di Bukit Merese

Aku datang ke Lombok dengan ekspektasi: pantai indah, makanan enak, dan foto-foto cantik. Tapi ternyata, ada satu momen dalam perjalanan yang benar-benar di luar dugaan—wisata edukatif yang menyenangkan di Bukit Merese.

Biasanya, kalau dengar kata “edukatif,” kita bayangkan museum atau tempat dengan papan informasi yang penuh teks. Tapi Bukit Merese memberi pengalaman belajar yang berbeda—melalui alam, obrolan dengan warga lokal, dan interaksi yang bikin kepala cerah dan hati senang.

Dan semua ini aku temukan saat ikut paket liburan Lombok 3 hari 2 malam yang ternyata nggak cuma soal healing dan foto-foto, tapi juga membawa kita mengenal lebih dalam budaya, lingkungan, dan cara berpikir orang-orang Lombok.

Matahari Pagi dan Langkah Awal

Hari itu, mobil kami berhenti di dekat area Pantai Tanjung Aan. Dari sana, kami berjalan kaki naik perlahan ke arah Bukit Merese. Langit biru, angin sejuk, dan hamparan laut yang membentang jadi latar sempurna untuk memulai hari.

Bukit Merese ini cocok banget buat siapa pun. Jalurnya ringan, cocok untuk anak-anak sampai lansia. Tapi yang bikin perjalanan ke atas jadi istimewa adalah penjelasan dari guide lokal kami—Pak Harun, bapak paruh baya yang ternyata bukan cuma ramah, tapi juga penuh cerita.

Belajar Tentang Ekosistem dari Puncak Bukit

Begitu sampai di atas, kami duduk di rerumputan sambil menikmati pemandangan yang luar biasa. Laut biru toska di sebelah kiri, pantai putih di kanan, dan angin semilir yang membuat kita betah berlama-lama.

Pak Harun mulai bercerita, bukan seperti guru di kelas, tapi seperti kakek yang bercerita ke cucunya. Ia menunjuk ke arah vegetasi kecil yang tumbuh di sela-sela batu dan menjelaskan fungsi tumbuhan itu dalam mencegah erosi. Ia cerita bagaimana angin kencang di puncak ini membentuk karakter bukit dan bagaimana warga sekitar menjaga vegetasi alami agar tanah tetap stabil.

“Kalau kalian lihat rumput ini, bukan cuma buat foto. Tapi dia yang menjaga tanah ini nggak longsor saat hujan deras datang,” katanya.

Dan seketika, aku jadi lebih menghargai tiap jengkal tanah yang kuinjak.

Cerita Leluhur dan Kearifan Lokal

Tak jauh dari tempat kami duduk, ada batu besar yang agak menonjol. Katanya, batu itu jadi penanda titik tertentu yang sering digunakan para tetua desa untuk mengamati cuaca.

“Kalau langit mulai berubah warna di arah sana,” Pak Harun menunjuk ke ujung barat daya, “itu tanda nelayan harus bersiap, badai bisa datang.”

Kearifan lokal seperti ini tidak tertulis di buku, tapi diwariskan dari mulut ke mulut. Dan bisa mendengarnya langsung dari warga setempat—itu rasanya istimewa sekali. Seolah-olah, kami diizinkan masuk ke cerita lama yang biasanya hanya diceritakan di dapur saat malam hari.

Edukasi Tentang Sampah dan Tanggung Jawab Wisatawan

Salah satu hal yang membuatku kagum adalah kesadaran warga setempat soal kebersihan. Sepanjang jalur pendakian Bukit Merese, nyaris tidak ada sampah. Dan itu bukan karena ada petugas kebersihan, tapi karena semua pengunjung diingatkan secara halus dan elegan untuk bertanggung jawab.

“Kalau kita buang sampah, kita bukan cuma merusak pemandangan, tapi juga merusak doa kita sendiri,” kata Pak Harun.

Aku sempat terdiam. Ada makna spiritual dalam menjaga alam yang tidak pernah aku sadari sebelumnya. Bagi warga Lombok, merusak alam bukan cuma tindakan buruk, tapi bisa jadi ‘pantangan’ karena dianggap tidak menghormati berkah yang sudah diberikan.

Aktivitas Edukatif Ringan di Puncak Bukit

Di tengah suasana yang tenang, kami diajak bermain kuis kecil oleh tim guide. Pertanyaannya seputar tumbuhan yang tumbuh di sekitar bukit, nama-nama pantai yang terlihat dari atas, dan sejarah tempat tersebut.

Tidak ada hadiah, tapi suasananya hangat dan penuh tawa. Anak-anak dalam rombongan jadi lebih semangat belajar karena tidak merasa “sedang belajar.” Mereka bermain sambil menyerap ilmu.

Salah satu anak kecil, sekitar umur 8 tahun, menjawab pertanyaan tentang kenapa rumput di Merese tahan angin. “Karena akarnya kuat, kayak ibu saya,” katanya polos. Semua langsung tertawa. Tapi itu juga jadi pengingat bahwa pembelajaran bisa sangat sederhana dan tetap bermakna.

Saat matahari makin tinggi, kami mulai turun dari bukit. Tapi hati rasanya masih ingin tinggal lebih lama. Bukan hanya karena keindahan alamnya, tapi karena pengalaman menyeluruh yang terasa mendidik tapi tidak menggurui.

Perjalanan singkat ini membuka mataku. Ternyata wisata edukatif tidak harus formal atau penuh papan informasi. Bisa juga lewat obrolan santai, pengalaman langsung, dan tentu saja—interaksi tulus dengan warga lokal.

Bukit Merese bukan cuma spot foto estetik. Ia adalah buku terbuka yang bisa dibaca siapa saja, asalkan mau duduk sebentar dan mendengarkan angin.