Backpacker Seru di Air Terjun Sendang Gile: Petualangan di Ujung Hutan Rinjani

Kalau ditanya pengalaman backpacker paling seru yang pernah saya rasakan di Lombok, saya akan langsung jawab: Air Terjun Sendang Gile. Perjalanan ke sana bukan cuma soal destinasi, tapi perjalanan menuju ke sananya sendiri yang penuh cerita.

Sebagai backpacker, saya terbiasa berpindah-pindah dengan ransel di punggung dan semangat petualang yang nggak bisa diam. Tapi Lombok, khususnya Lombok Utara, punya daya tarik yang beda. Alamnya masih liar, masyarakatnya hangat, dan rutenya… kadang menantang. Tapi justru itu yang bikin seru.

Start dari Mataram: Satu Ransel, Satu Rencana

Perjalanan saya dimulai dari Mataram. Tujuan: Desa Senaru, gerbang menuju Air Terjun Sendang Gile. Biasanya saya naik motor atau nebeng kendaraan umum, tapi kali ini saya pengin lebih nyaman karena rencana trekking cukup panjang.

Setelah browsing dan tanya-tanya ke teman traveler lain, saya putuskan untuk pakai layanan sewa mobil lombok driver. Ternyata bisa disesuaikan dengan gaya backpacker—nggak ribet, bisa stop di mana aja, dan sopirnya fleksibel banget.

Yang paling saya suka, sopirnya juga paham dunia petualangan. Dia ngerti banget gimana rasanya jadi solo backpacker yang butuh info lokal, tempat makan murah, dan kadang butuh istirahat di warung pinggir jalan buat sekadar ngopi.

Perjalanan Menuju Senaru: Santai Tapi Penuh Pemandangan

Sepanjang jalan menuju Senaru, saya duduk di kursi depan, ngobrol terus sama Pak Dedi, sopir yang hari itu jadi teman jalan. Kami lewat pesisir utara yang memanjakan mata: pantai berpasir hitam, pohon kelapa, rumah-rumah sederhana.

Sesekali kami berhenti, entah itu buat beli jajanan pasar atau sekadar ambil foto pemandangan sawah dan laut dalam satu bingkai.

Saya suka banget ritme perjalanan seperti ini—nggak terburu-buru, tapi tetap maju. Dan dengan mobil plus driver lokal, saya nggak perlu khawatir soal arah atau kondisi jalan. Tinggal nikmati.

Tiba di Desa Senaru: Aroma Pinus dan Udara Dingin

Begitu sampai di Senaru, nuansa langsung berubah. Udara jadi dingin dan segar. Di sekeliling hanya ada pohon-pohon tinggi, kabut tipis, dan suara burung liar. Desa ini tenang sekali, tapi tidak mati. Ada banyak penginapan kecil, warung lokal, dan tentu saja… titik awal menuju petualangan air terjun.

Saya sempat mampir ke warung buat beli air dan pisang goreng. Nggak nyangka, di tempat terpencil begini saya bisa ngobrol lama dengan pemilik warung tentang sejarah Sendang Gile.

Katanya, nama “Sendang Gile” berasal dari kisah seorang pangeran yang dikejar singa gila (sendeng gila dalam bahasa Sasak), lalu lari ke hutan dan menemukan air terjun ini secara tidak sengaja.

Legenda yang cukup dramatis untuk sebuah tempat yang begitu damai.

Trekking ke Sendang Gile: Jalanan, Jembatan, dan Suara Air

Jalur menuju Air Terjun Sendang Gile cukup ramah untuk pemula. Ada tangga beton di awal, lalu jalan setapak tanah yang membelah hutan.

Sepanjang jalan, saya melewati jembatan kecil, mendengar suara gemericik sungai, dan sesekali bertemu dengan wisatawan lain yang juga sedang naik turun.

Waktu tempuhnya hanya sekitar 15-20 menit dari gerbang masuk, tapi karena saya banyak berhenti untuk foto, jadi terasa lebih lama. Tapi justru itu yang menyenangkan.

Saya tidak sedang berlomba. Saya sedang menikmati.

Tiba di Sendang Gile: Gempuran Air dan Ketenangan Jiwa

Begitu keluar dari belokan terakhir, suara air mulai terdengar jelas. Dan… di depan mata, berdiri tegak Air Terjun Sendang Gile.

Tinggi, deras, dan jernih. Airnya memantul di batu-batu dan menciptakan kabut halus yang membasahi udara.

Saya langsung copot sandal dan nyebur ke pinggiran kolam alami. Airnya dingin luar biasa, tapi menyegarkan. Satu dua kali cipratan air masuk ke wajah, dan saya hanya bisa tertawa sendiri. Ini momen yang ditunggu-tunggu.

Beberapa traveler lain terlihat duduk di batu sambil makan bekal. Ada juga yang tidur-tiduran di atas hammock. Saya ikut rebahan, memandangi langit dari sela pepohonan tinggi.

Rasanya seperti semua beban ransel dan hidup ikut mengalir bersama derasnya air terjun.

Kenapa Sendang Gile Cocok Buat Backpacker?

  1. Trekking-nya cukup singkat tapi tetap menantang.

  2. Pemandangan luar biasa tanpa harus keluar biaya mahal.

  3. Bisa lanjut ke Tiu Kelep yang lokasinya berdekatan.

  4. Desa Senaru punya vibe lokal yang hangat dan alami.

  5. Transportasinya fleksibel—bisa hemat kalau tahu caranya.

Dan buat saya, pengalaman paling mulus adalah saat kombinasi antara gaya backpacker dan layanan lokal berjalan seirama. Punya ransel di punggung, tapi tetap pakai sewa mobil Lombok driver yang ngerti kebutuhan petualangan.

Setelah Turun, Ngopi di Pinggir Tebing

Sebelum kembali ke Mataram, saya sempat mampir di salah satu kafe kecil pinggir tebing di Senaru. Pemandangannya menghadap langsung ke lembah hijau dan Gunung Rinjani di kejauhan.

Saya pesan kopi tubruk lokal dan pisang goreng keju. Sambil menulis catatan di jurnal backpacker saya, saya sadar… tempat seperti ini nggak butuh filter.

Alamnya sudah cukup. Ceritanya sudah lengkap. Tinggal kamu mau datang dan merasakannya atau tidak.